Friday, August 25, 2006

Tak seperti biasanya

Tadi malam anggota tim pelari bertambah satu. Bertiga, kita tempuh jalur baru memutari lapangan golf. Lari tidak secepat biasanya. Jadinya lebih asik, karena bisa sambil mengobrol, mulai dari hal-hal sepele sampai berita heboh di media.

"Morning after pill supaya nggak lagi perlu pake resep lagi diributin tuh. Trus, masak dikategorikan sebagai obat lagi. Apaan sih, memangnya hamil itu penyakit. Definisinya aja udah salah." Ujar saya, seperti biasa, dengan sedikit pengaruh doktrin Katolik.

"Katanya juga ada pil yang bisa diminum pria, fungsinya sama kayak pil itu. Tapi..ha ha ha..perempuan mana yang percaya pasangannya sudah meminum pil sebelum berhubungan, apalagi yang modelnya one night stand."

Kami bertiga tertawa.

"Tau nggak, katanya sejak aborsi dilegalisasi, tahun 60-an kan ya, tingkat kejahatan di sini menurun."

"Oh ya, kenapa?"

"Yang punya teori bilang kalo kelakuan kriminal itu bisa jadi faktor turunan, yah nggak harus genetik tapi juga lingkungan keluarga."

"Masuk akal sih. Maling kan nggak mungkin jadi maling kalo belum ngelihat contoh maling."

"Iya, atau orang nggak mungkin jadi maling kalo sempet ngelihat maling ketangkep massa."

Semua tertawa lagi.

Aroma masakan Cina cepat saji sekilas memenuhi udara. Berganti dengan bau saluran pembuangan kendaraan-kendaraan jago minum bensin. Untungnya cuaca tidak sepanas biasanya. Bintang bertaburan tapi bulan yang lagi sabit tak kelihatan. Di kejauhan, mulai kelihatan kompleks asrama dan tempat parkirnya yang mulai penuh. Beberapa kendaraan diparkir di pinggir jalan. Terlihat beberapa penghuni asrama menurunkan barang-barangnya. Ya, semester baru dimulai lagi minggu depan. Saya masih tidak bisa melepaskan masa santai-- tapi produktif-- semester musim panas.

Ah.

Semenit terakhir, yang dua sepakat buat sprint. Saya sih ogah.

Sesampainya di rumah dan sehabis mandi saya kembali mengerjakan data-data eksperimen yang baru terkumpul. Lalu saya lanjutkan membaca Saman. Dari jam 12 sampe jam 1-an mungkin. Dari halaman 84 sampe ke halaman terakhir, pake sistim baca cepat. Jadi wajar, tidak terlalu menghayati. Tapi ada satu bagian yang agak mengena karena terlalu dekat dengan pengalaman. Halaman itu tentunya dibaca ulang berkali-kali.

"Tapi mencari suami memang seperti melihat-lihat toko perabot untuk setelan meja makan yang pas buat ruangan dan keuangan. Kita datang dengan sejumlah syarat geometri dan bujet. Sedangkan kekasih muncul seperti sebuah lukisan yang tiba-tiba membuat kita jatuh hati. Kita ingin mendapatkannya, dan mengubah seluruh desain kamar agar turut padanya. Laila selalu jatuh cinta pada lukisan, bukan pada meja makan. Ketika remaja ia tertarik pada seorang pemuda Katolik. Laki-laki itu menjadi pastor dan pergi mengembara. Sepuluh tahun temanku tak bisa melupakannya, ia kirim pemuda itu puisi-puisi, padahal orang itu mungkin sedang asyik menggembalakan domba-dombanya. Kini, ia memulai cerita dengan pria beristri. Kamu juga tak akan bisa menikah dengannya, kami menasehati. Tapi aku cinta, katanya. Ya sudah."

Hah. Di mana dia sekarang, ya? Kabarnya tidak jadi masuk seminari, malah bergandengan tangan dengan seorang perempuan. Saya, seperti Laila, juga selalu tertarik pada lukisan. Saya lalu jatuh tertidur dengan suara televisi di latar belakang. Timer-nya saya pasang sehingga akan mati setelah saya lelap.

Jam 6:45 pagi, alarm telpon genggam membangunkan. Waktunya lari. Saya siap-siap, turun ke dapur untuk mengambil air botolan yang sudah beku, dan setelahnya bergegas menyetir ke rumah partner lari. Sesampainya di sana, saya lihat mobil dia tidak ada di parkiran.

"Yo, Pak, elu di mana? Gue udah di depan nih." SMS ke dia.

Pastinya lagi menginap di suatu tempat dan saya tidak mau membangunkan orang-orang di sana dengan dering telpon saya. Tidak sampe semenit kemudian, saya ditelpon.
"Nda, I'll be there in five minutes."

"OK, elu di mana sih?"

"Di tempatnya X."

"Oh.."
Tidak jelas, ini kecewa karena jadwal yang sedikit rusak atau lebih karena cemburu, sepertinya yang terakhir. Ternyata sebagai teman saya posesif, apalagi sebagai pacar ya, aih, tak disangka.

Sepulang lari, saya diminta menemani si partner belanja kebutuhan sehari-harinya. Lebih tepatnya, kebutuhan higienis sehari-harinya: sabun badan, muka, shampo, deodoran, dan pisau cukur. Hei, stroberi lagi murah loh. Tapi saya tidak beli. Nanti saja lah, tunggu si Nona balik. Saya tidak sabar menunggu Selasa.

Sehabis mandi dan sarapan, saya putuskan untuk memberi warna pada kuku-kuku kaki saya. Hari ini saya berniat bersendal jepit ke sekolah. Dan seperti 99% perempuan bersepatu yang memperlihatkan kuku-kukunya, saya merasa mereka (kuku-kukunya bukan perempuannya) telanjang tanpa cat. Saya pilih warna coklat, nude, yang tentu saja tidak kontras ke kulit saya. Tapi saya suka, seperti make up without make up. Tak puas dengan kuku-kuku kaki, saya pulaskan juga di kuku-kuku tangan. Tapi saya baru ingat, hari ini kan saya bakal jadi tukang. Pasti nanti ada yang bocel terkena perkakas.

Masuk di clean room, saya bersiap-siap untuk memasang laser pesanan yang sudah datang dari sebulan yang lalu. Buku manual-nya tidak ketemu. Saya putuskan untuk pakai akal sehat saja. Selama tidak menggores bagian optikalnya dan selama saya pake sarung tangan tentunya tidak apa-apa. Sepasang per yang menahan laser lama begitu susah untuk dilepas. Telunjuk dan jempol saya sampai kapalan. Akhirnya saya temukan cara jitu untuk membukanya. Saya cabut laser lama dan masukkan laser baru. Tapi membongkar sesuatu selalu lebih gampang dari memasangnya kembali.

Di tengah-tengah kesibukan, saya sempat dipanggil keluar oleh dosen pembimbing. Cuman untuk mengatur versi terakhir proceeding volume yang dia kerjakan sebagai editor, saya pikir apa. Saya lihat nama saya di bagian terimakasih. Sayangnya salah eja.

Kembali ke laboratorium, saya membangun kembali struktur pipa udara dan nitrogen untuk mesin IR berlaser baru tadi. Saya kangen juga kerjaan manual kayak gini. Tiga minggu terakhir, saya selalu berada di depan komputer dan mesin pengukur arus, voltase, dan kapasitansi.

Setelah semua selesai, saya segera keluar dari ruangan berlampu kuning itu. Makan siang. Tepat setelah kunyahan terakhir, anggota grup riset di kantor sebelah memboyong saya ke sana untuk berdiskusi tentang hasil riset dia. Saya anjurkan beberapa hal, tapi dia sepertinya tidak mendengar.

Jam empat ada pertemuan riset grup mingguan. Untungnya cuma satu orang yang memaparkan hasilnya. Jadi tidak terlalu terasa menyiksa akhir minggu yang sudah di ambang pintu ini. Tapi tetap, saya tidak sempat ke Misa harian, padahal sudah cukup jadi ritual hari Jum'at. Sudah terlambat sepuluh menit ketika pertemuannya selesai, belum lagi jalan ke sana.

Malam ini saya tidak ada rencana. Tapi saya mengidam ayam goreng. Jadi mungkin berburu itu saja dan pinjam DVD lagi seperti akhir minggu kemaren.

Eh, saya tidak percaya bisa menulis sepanjang ini.

8 comments:

nadia said...

that was one longass entry but i read every single word..hahhaa kinda hrs buat buku deh ehhee ade serasa baca buku.. dan kinda characternya eehehehe ... i'll see u in college station.. im comin home today klo ga terlalu telatt huhuh.. spare some time for us donkks!! :( maybe we should watch the movies i got from indo!

Xinda said...

Wah makasih sudah dibaca kata per kata. Entah setan apa yang bisa bikin tahan nulis sepanjang itu sekali duduk. HAHAHA.

BOLEH2. Telpon2 ya, De!

Anonymous said...

It seems that those indo novels really got you.

Saya berasa membaca sebuah novel metropop, secara saya sudah membaca novel2 seperti itu selama saya di sini.

Haha..
See you Tuesday..
-NY-

Xinda said...

Apasih definisinya metropop? I've never read any of the current Indonesian novels.

Anonymous said...

metropop kakk...metropop. Chicklit Indo. Yang sok lucu. Sok cute. Bubblegum-ish. Light reading. You're using the language those chick-lit-novelist uses in their books. SAYA. FIRST PERSON. Always. Argh...huhuhu...KYH. We cant wait for Tuesday eitherrr

--si kodoque yang bener2 mulai gila

Xinda said...

"sok lucu. Sok cute. Bubblegum-ish."

Oh, my, are you saying my "curhat" is kinda like all of those? Is it because of the use of saya instead of aku or gue?

Aku terlalu personal, kalo pake gue, gayanya bakal beda lagi.

Gimana nih, Bu Didi?

Ha ha ha. Kok jadi panik gini...

mango said...

hoahahahaha. terinspirasi sastra indonesia rupanya. you are what you read, indeed?

saya tidak pernah membaca chicklit indo atau metropop whatever itu jadi saya tidak bisa memberi opini. meskipun kalo diingat2 kembali, sepertinya buku2 sastra yang dulu saya baca memang lebih sering menggunakan personifikasi orang ketiga. jadi, mungkin next time pake itu saja? hehe.

Xinda said...

Hi hi hi. Laen kali ganti tema dan ganti gaya, ah. Cerita misteri misalnya, atau dongeng cerita anak-anak kali ya. Terimakasih masukannya.